Ambulan dan Beban Kerjanya: Belajar dari Pandemi COVID-19
Disusn Oleh Ns. Kristianto Dwi Nugroho, M.Kep ( Dosen S-1 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang )
Tanggal 11 Maret 2022, WHO menyatakan status pandemi dengan jumlah negara yang terlibat adalah 114, dengan lebih dari 118.000 kasus dan lebih dari 4000 kematian. Sampai Maret 2022 hampir seluruh negara di dunia telah berstatus pandemi dengan total kasus secara global mencapai 448.313.293 kasus terkonfirmasi. Berdasarkan perhitungan statistik, kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia mengalami fluktuatif, hingga bulan Februari 2022 tercatat sudah terdapat 5.564.448 kasus terkonfirmasi Covid-19.
Meningkatnya kasus terkonfirmasi Covid-19 berdampak terhadap layanan ambulan milik pemerintah Kota Semarang dalam memberikan perawatan medis darurat yang diberikan kepada pasien sebelum tiba di rumah sakit. Pertimbangan logistik dan keselamatan khusus ke tempat kejadian juga diperlukan pada layanan emergency pre-hospital. Fasilitas layanan Ambulans Hebat dan Ambulan Siaga mengalami over demand. Operator ambulan dapat menerima kurang lebih 200 permintaan layanan dalam 1 sif (8 jam) pada masa serangan Covid-19 gelombang kedua di bulan Juli 2021 sampai dengan bulan September 202. Masa pandemi ini, banyaknya permintaan layanan yang disebabkan oleh membludaknya pasien Covid-19, membuat tenaga medis semakin kewalahan, ditambah lagi dengan penuhnya fasilitas rumah sakit rujukan di Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyatna (2021), menunjukkan bahwa tenaga kesehatan pre-hospital mengalami stres kerja yang diakibatkan oleh beban kerja sebesar 68,7% pada masa pandemi.
Meningkatnya beban kerja yang dialami staf ambulan pada masa pandemi menjadi sebuah tantangan baru dan ekstra. Beban kerja yang dialami dapat menimbulkan dampak negatif, seperti kualitas kerja menurun, adanya pengaruh terhadap kesehatan, hingga stress kerja . Saat yang sama, situasi ini telah menyebabkan penurunan dalam kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental, kurangnya sumber daya, kurang tidur, pergantian sif yang lebih lama, meningkatnya angka permintaan layanan, hingga resiko terpapar virus. Faktor- faktor tersebut dapat memicu stres, ketegangan fisik dan/ atau emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Nikeghbal, et al,. (2021) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan kualitas hidup, di mana semakin tinggi beban kerja yang dialami maka akan semakin rendah angka kualitas hidupnya.
Domain Compassion Satisfaction Compassion satisfaction atau disebut juga kepuasan welas asih merupakan kesenangan yang diperoleh karena mampu melakukan pekerjaan dengan baik (Stamm, 2012). Dalam penelitian menunjukan bahwa di situasi pandemi, compassion satisfaction yang dimiliki responden tergolong tinggi karena adanya unsur kecintaan dan sebuah motivasi kerja yang tinggi pada setiap responden. Adanya motivasi dan kecintaan terhadap pekerjaan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Hasmalawati dan Restya (2017) yang menyatakan bahwa semakin tinggi motivasi kerja maka akan semakin tinggi kualitas kehidupan kerja, begitu pula sebaliknya.
Terjadinya burnout dapat dipicu karena adanya kelelahan baik secara fisik maupun mental yang dibiarkan secara terus menerus. Di situasi pandemi ini, banyak tenaga kesehatan yang mengalami kelelahan yang pada akhirnya menyebabkan burnout. Akan tetapi kenyataannya pada penelitian ini angka kejadian burnout yang dialami responden pada situasi pandemi Covid-19 berada pada kategori rendah. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki mekanisme koping yang berbeda dalam menghadapi stress dalam situasi darurat.
Beberapa tingkat stres dapat membantu seseorang untuk tetap bekerja dengan baik (IDI, 2020). Seseorang yang mengalami burnout menunjukkan bahwa orang tersebut kehilangan kemampuan untuk mengontrol stress terkait pekerjaan dan mengalami gejala pelepasan emosional dan psikosomatis (Bulatevych, 2017 dalam Hamami & Noorrizki, 2021). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa burnout yang dialami responden berada skala rendah dikarenakan mereka masih dapat mengontrol stressor dengan baik meskipun sedang dihadapkan dengan situasi darurat. Disisi lain, mereka juga telah beradaptasi dengan kasus Covid-19 yang cukup fluktuatif dan mulai melandai. Sehingga mereka telah beradaptasi dengan stressor yang dihadapi.
Hal ini menunjukan suatu hasil yang positif atas adanya kualitas hidup yang baik. Seseorang dengan skala ini telah memiliki reinforcement positif dari pekerjaan mereka. Mereka tidak memiliki rasa khawatir dan terjebak akan pekerjaannya. Mereka juga tidak memiliki rasa trauma akibat pekerjaan yang telah dilalui. Seseorang dengan skala ini telah memperoleh aspek positif dari pekerjaan yang telah mereka kerjakan, mereka masih dapat beradaptasi dengan baik dalam situasi lingkungan yang mereka hadapi.