Amankah Bersosial Media Bagi Kesehatan Mental ?
Disusun Oleh : Ns. Laura Khattrine Noviyanti, M.Kep, Sp.Kep. J. – Dosen S1 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang
Pernahkah anda berpikir mengapa beberapa pembuat konten ingin viral dan terkenal dengan banyak “like” dan komentar di media sosial ? Jawaban tersebut dibuktikan dengan mini riset oleh Media New York Times yang relevan tentang bermedia sosial. Dua motivasi utama dalam berbagi diantaranya mereka ingin mencerminkan identitas mereka (68%), berbagi cerita atau konten karena mereka menyukai bila orang lain terlibat dalam mengomentari konten mereka (81%). Disamping itu, media sosial bisa diakses kapan dan dimana saja dan memiliki sumber tanpa batasan membuat posisinya menjadi lebih mendominasi. Akan tetapi dengan berubahnya jaman, awalnya media sosial sebagai alat komunikasi semakin lama perannya telah bergeser seperti 2 sisi mata uang, bisa kearah positif atau sebaliknya kearah negatif. Fenomena yang terjadi sekarang beredarnya isu-isu SARA mencuat ke media sosial sehingga menimbulkan reaksi yang mengarah ke unsur kebencian, provokasi perilaku berbahaya, saling mengejek, saling membully, hingga saling menghina.
Saat ini kita bahas dengan dua dampak media sosial yang secara tidak langsung memengaruhi kesehatan mental. Dampak pertama akan kita bahas tentang dampak positif. Bekalu (2020) dalam Riset Penelitian di Lee Kum Sheung Center for Health and Happiness menyatakan bahwa penggunaan media secara rutin dapat mengimbangi berkurangnya interaksi sosial tatap muka sehingga mengatasi hambatan jarak dan waktu memungkinkan untuk terhubung dan memperluas jaringan mereka dengan orang lain sehingga semakin kuat jalinan persahabatan. Dari hal tersebut mengakibatkan kesejahteraan sosial seseorang akan semakin baik dan meningkatkan kesehatan mental yang positif. Koneksi emosional dengan kerabat terjalin kuat berkat media sosial. Dampak positif lainnya yaitu peningkatan hormon dopamin (salah satu hormon kebahagiaan) dengan memicu bertambahnya kesenangan pada diri sendiri (self-love) yang dirangsang ketika banyak komentar positif , “like” dari pembaca yang seakan-akan sebagai bentuk penghargaan sehingga, hormon yang meningkat lainnya yaitu oksitosin (salah satu hormon kebahagiaan) meningkatn ketika perasaan seseorang disayangi oleh orang lain. Lonjakan kedua hormon tersebut menurunkan tingkat stress, perasaan cinta, kepercayaan, empati yang datang lewat media sosial (Seiter, 2016).
Dampak kedua yang akan kita bahas adalah dampak negatif. University of Pittsburgh Medical Center, 2016 melakukan survey terhadap anak muda tentan sosial media dan pola tidur, hasilnya ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur dikarenakan cahaya biru dari layar smartphone menunda dari ritme sirkadian yang mengakibatkan tidur tidak menjadi pulas. Dampak lainnya yaitu kecemasan, berdasarkan studi yang dilakukan ke anak muda dimana dilaporkan penggunaan platform media sosial lebih dari satu mengakibatkan tiga kali lebih mungkin mengalami kecemasan tingkat tinggi. Beberapa penelitian lainnya Primack, Shensa & Escobar (2017) telah menemukan adanya keterkaitan antara depresi dalam penggunaan sosial media. Gejala depresi yang muncul diantaranya suasana hati yang rendah, perasaan tidak berharga dan putus asa berkaitan dengan kualitas interaksi secara daring. Disamping itu dampak negatif media sosial mengakibatkan seseorang cenderung untuk membandingkan tubuh dengan orang lain sehingga mereka khususnya para remaja berbagai cara mengubah pola makan menjadi ideal serta menggunakan filter untuk mempercantik diri sehingga foto yang diunggah bukanlah foto dirinya, dari fenomena tersebut mengakibatkan tidak menyukai pada diri sendiri bahkan mengalami gangguan body image.
Bahasan dampak diatas sebagian mewakili dari dampak negatif dan positif dari media sosial. Untuk mencegah terjadinya dampaka negatif pada kesehatan mental baiknya kurangi frekuensi dalam waktu bermedia sosial, kedua bijak dalam bermedia sosial misal dalam memfilter berita atau komen yang sifatnya buruk pada diri sendiri dan orang lain. Khusus anak dan remaja, pendampingan orang tua memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman bahwa apa yang terlihat di media sosial bukan sepenuhnya realita dan dapat dipercaya.